Paradigma Ekonomi Kelembagaan

Teori ekonomi kelembagaan paralel dengan sifat asasi dari ilmu sosial, yakni sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial memilki dua dimensi yang harus dipahami secara kritis. Pertama, jika berkaitan dengan (persoalan) negara, ilmu sosial tidak hanya mempunyai daya penjelas atau kapasitas interprentif, tetapi juga berpotensi melegitimasi dan mendelegitimasi. Kedua, bila bersinggungan dengan (urusan) masyarakat, maka ilmu sosial tidak berbicara tentang legitmasi dan delegitimasi, melainkan tentang ilmu-ilmu sosial instrumental dan ilmu-ilmu sosial kritis. Dengan pijakan ini, setidaknya ilmu sosial mengusung satu pesan penting: tidak ada kebeneran tunggal.

Perilaku Teknologis dan Ideologis
Analisis ilmu ekonomi bisa dibagi dalam empat cakupan berikut (MIller, 1988:50-51): (i) alokasi sumber daya (ii) tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan, produksi, dan harga (iii) distribusi pendapatan dan (iv) struktur kekuasaan.
Menurut Veblen, kelembagaan adalah kumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal (sebagai subyek dari perubahan dramatis) yang direproduksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan pada masing-masing generasi individu berikutnya. Dengan demikian, kelembagaan berperan sebagai stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu. Menurut pandangan Veblen, dinyatakan dengan ungkapan sosiologis bahwa manusia tidak hanya mengerjakan apa yang mereka suka, tetapi mereka juga suka apa yang harus mereka kerjakan. Oleh karena itu, tempat untuk memulai suatu teori adalah dengan menganalisis apa yang harus dikerjakan oleh orang-orang (what men have to do).
Ide inti dari paham kelembagaan (instutionalism) adalah mengenai kelembagaan, kebiasaan, aturan, dan perkembangannya. Pendekatan ahli kelembagaan bergerak dari ide-ide umum mengenai perilaku manusia, kelembagaan, dan perkembangansifat dari proses ekonomi menuju ide-ide dan teori-teori khusus, yang berkaitan dengan kelembagaan ekonomi yang spesifik atau tipe ekonomi (Hodgson, 1998:168). Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner, kolektif, interdispliner, dan nonprediktif.
Aliran Veblen membedakan antara perilaku teknologis dan kelembagaan sebagai titik awal untuk menerangkan kontribusi teoritis dari aliran kelembagaan. Veblen membedakan antara dua jenis pola perilaku dan bentuk-bentuk pikiran yang ada di dalam berbagai tingkatan di semua kebudayaan. pikiran dan tindakan teknologis atau instrumental meliputi penjelasan dari sebab ke akibat dan tindakan yang bukan bersifat paksaan/ kekerasan. Perilaku ini dilakukan dengan tekana sosial dan diverifikasi melalui kewenangan yang ada. Sebaliknya, kelembagaan adalah 'kebiasaan mapan yang umum dari sistem status di masyarakat dan menemukan penjelasannya dari otoritas, seperti kelaziman (custom), hukum, politik, agama, dan moralitas.
Menurut Dugger (1998:88), aliran perilaku mendasarkan pada akar tindakan manusia di dalam struktur kelembagaan (norma-norma, pekerjaan, peraturan-peraturan, pemanfaatan, dan keinginan) ketimbang keinginan individual yang banyak dianggap tidak asli atau tidak bisa dipercaya karena sifat subyektif dan intropektifnya. Selanjutnya, ahli kelembagaan memandang individu secara terbatas dan mengarah pada transaksi hukum dan kesepakatan. Dengan kata lain, Commons mendeskripsikan kepemilikan pribadi bukan sebagai kondisi 'alamiah', tetapi lebih sebagai perkembangan di luar kondisi-kondisi historis dan menjadi subyek dari kontrol manusia.

Realita dan Evolusi
Robert Heilbroner menyatakan bahwa bentuk data ekonomi tertentu adalah tidak stabil. Dia mengklasifikasi data ekonomi ke dalam dua kategori yang berbeda. Pertama, data berhubungan dengan 'the physical nature of the production process' sedangkan yang kedua, data yang berhubungan dengan 'the behavioral response to economic stimuli'. Heilbroner kemudian menyatakanbahwa meskipun data perilaku cenderung menunjukkan tingkat stabilitas jangka panjang yang tinggi teknis seperti fungsi produksi jangka panjang adalah sangat tidak stabil dan tidak mungkin untuk memprediksi dengan tingkat keakuratan yang memadai.
Di lain pihak, seperti yang dikemukakan oleh Wilber dan Harrison (1988:105), pada sebagian besar tingkatan analisis ekonomi kelembagaan dapat ditandai dengan adanya cara pandang yang holistik, sistematis, dan evolusioner. Dengan demikian, aliran kelembagaan bersifat holistik (menyeluruh) karena memfokuskan pada pola hubungan di antara bagian-bagian keseluruhan. Singkatnya, proses sosio-ekonomi bergerak dengan arah yang pasti dan tujuan itu perlu ditetapkan (Kapp, 1988a:80-82).
Ruherford (1994:52) menyatakan bahwa tindakan individu/kelompok dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, yakni rasionalitas dan norma (nonrational). Dalam pendekatan NIE, aturan-aturan yang dibuat diharapkan bisa memandu individu untuk bertindak secara rasional. Meminjam istilahnya Elster (dalam Rutherford, 1994:52), pencapaian tersebut dalam banyak hal merupakan hasil kompromi diantara dua hal diatas : kadang-kadang tindakan rasional menghalangi norma sosial, dan sering kali norma sosial merintangi keputusan rasional.
Myrdal menunjukkan dimensi dan kompleksitas yang benar tentang, misalnya masalah kemiskinan, keterbelakangan dalam hubungannya dengan kelembagaan, negara lunak, isu mendasar mengenai hubungan antara manusia dan lahan yang meliputi hubungan peuasaan lahan, relasi antara sumber daya dan pupulasi, kemampuan baca dan tulis, tingkat dan substansi pendidikan rendah, kesehatan dan gizi yang buruk, pengetahuan teknis yang kurang ilmiah, sikap tradisional, sistem nilai, kelas, sistem pergaulan dan kasta, dan efek dominasi atau masalah lingkungan dengan dampak dramatisnya terhadap masalah perdagangan. 

Metode Kualitatif: Partikularitas dan Subyektifitas
Dalam memahami individu atau masyarakat bukan sekedar soal 'subyek' tetapi juga 'metode'. Metode itulah yang kemudian akan mengantar setiap ekonomi kepada sebuah 'kebenaran'. Kosakat 'kebenaran' inilah yang hendak diuji dalam dua pendekatan penelitian ilmu sosial, yakni metode kuantitatif dan kualitatif. Kontruksi penelitian kuantitatif berdiri atas tiga premis yaitu: general, obyektif, dan terukur (prediktif). Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, penelitian kuantitatif telah membuktikan bahwa generalisasi, obyektivikasi, dan keterukuran telah banyak membantu untuk memahami fenomena (ilmu) sosial yang rumit. Namun, pandangan lain menyebutkan bahwa fenomena sosial harus dimengerti sebaliknya: partikular, subyektif, dan nonprediktif.
Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan menurut pendekatan epistemologinya. Jika metode kualitatif bersandar pada pendekatan interpretif, maka metode kuantitatif bertopang pada pendekatan positivistik. Universalitas pada penelitian kualitatif terangkum dalam sebuah keyakinan bahwa perilaku individu/kelompok berlaku sama dalam setting sosial yang sejenis pula (transferability). Sebaliknya, jika penelitian kualitatif gagap dalam menjelaskan suatu fenomena, maka hasil penelitian tersebut tidak memiliki kekuatan ilmiah untuk disampaikan kepada masyarakat.
Lewat premis partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (i) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal ; dan (ii) penelitian kualitatif secara rendah hati telah memproklamasikan 'keterbatasannya'. Tentu 'keterbatasan' yang diumukan itu berpotensi memunculkan tuduhan bahwa penelitian kualitatif memiliki kelemahan dibandingkan penelitian setiap pendekatan penelitian, baik kualitatif memiliki kelemahan dibandingkan penelitian kuantitatif.
Dalam tradisi akademik, nilai keilmiahan biasanya diukur dengan pendekatan nomotetik dan pendekatan idiosinkratik. Menurut Wallerstein, subyektvitas tersebut bisa didefinisikan sebagai penyusupan prasikap ke dalam diri sang peneliti dalam pengumpulan dan interpretasi data. Sekedar contoh, analisis penelitian kualitatif dibuat secara bertingkat sehingga memungkinkan hal yang subyektiftersebut mengalami 'obyektivikasi' melalui pendalaman-pendalaman analisis.

Nonprediktif: Nilai Guna dan Liabilitas Data
Membedakan penelitian kuantitatif dan kualitatif berdasarkan karakter universal/partikular dan obyektif/subyektif memang agak rumit. Namun, apabila membandingkannya berdasarkan sifat prediktif/nonprediktif, rasanya lebih mudah. Kaplan membuat pernyataan yang kemudian menjadi sangat terkenal, yaitu "if you can measure it, that ain't". Pernyataan ini diterjemahkan sebagai upaya perlawanan terhadap pendekatan kuantitatif, yang percaya bahwa sesuatu bisa disebut sebagai penemuan apabila bisa diukur. Dengan begitu, penelitian kualitatif lebih banyak merujuk kepada pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atau sesuatu. Sebaliknya, penelitian kuantitatif berkonsentrasi untuk menghitung dan mengukur sesuatu.
Penelitian kualitatif percaya bahwa data-data dalam ilmu sosial (khususnya ekonomi) tidaklah stabil. Seperti pendapat Heilbroner yang membagi data ekonomi dalam dua kategori: (i) data yang berkaitan dengan sifat fisik dari proses produksi; dan (ii) data yang berhubungan dengan respons perilaku atas rangsangan/kebijakan ekonomi. Dengan keyakinan inilah penelitian kualitatif tetap teguh dengan premis yang diusungnya hingga kini: bahwa yang terpenting bukanlah ramalan, melainkan penjelasan.
Ekonomi Kelembagaan dalam analisisnya sangat mementingkan kepada struktur kekuasaan (ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, dan lain lain) yang hidup dalam masyarakat, yang seterusnya hal itu mempengaruhi individu/kelompok untuk mengambil keputusan pertukaran/transaksi. Di sisi lain, penelitian kualitatif  peduli dengan seluruh aspek yang melekat dalam fenomena sosial. Sedangkan penelitian kualitatif menyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab-akibat dari proses sosial tersebut.
Namun tidak lantas juga penelitian kuantitatif dikatakan haram digunakan dalam analisis ekonomi kelembagaan. Misalnya, ukuran efisiensi dalam ekonomi kelembagaan bisa dilacak dari seberapa besar biaya transaksi yang muncul. Semakin besar biaya transaksi yang muncul dari proses pertukaran, berarti menunjukkan kelembagaannya tidak efisien. Jadi, dengan penggambaran yang utuh ini diharapkan tidak ada dikotomi yang berlebihan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam ekonomi kelembagaan. Sebab, untuk tujuan tertentu, harus diakui penelitian kuantitatif bisa mendonorkan faedah yang besar bagi pengembangan analisis ekonomi kelembagaan.


Source :
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori dan Kebijakan. Jakarta. Erlangga.


#TUGAS 3

Komentar

Postingan Populer