Teori Modal Sosial

Modal sosial sebagai sumberdaya sosial dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru dalam masyarakat. Oleh karena itu modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, saling percaya dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. 
Definisi Modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama. Fukuyama, F.(1995). Sedangkan Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal  sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial  merupakan  syarat yang harus dipenuhi  bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi, Berbagai permasalahan dan penyimpangan yang terjadi di berbagai negara determinan utamanya adalah rendahnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, dan menghalangi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. 

Menurut Hasbullah (2006), modal sosial memiliki enam unsur yaitu:
1. Participation in a network.  Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri 
dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok. 

2. Reciprocity.  Kecenderungan saling  tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan nuansa altruism tanpa mengharapkan imbalan.  Pada masyarakat dan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi.

3.  Trust. Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993).  Tindakan kolektif yang didasari saling percaya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi terutama dalam konteks kemajuan bersama.

4. Social norms Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis  tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan masyarakat.  Oleh karenanya norma sosial disebut sebagai salah satu modal sosial. 

5. Values Sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola cultural. 

6. Proactive action.  Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan  anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat.  Anggota kelompok melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya hubungan-hubungan sosial dan menguntungkan kelompok.  Perilaku inisiatif dalam mencari informasi berbagai pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan, dan beragam bentuk inisiatif lainnya baik oleh individu mapun kelompok, merupakan wujud modal sosial yang berguna dalam membangun masyarakat.

Modal Sosial: Empat Perspektif
            Terdapat empat argumentasi yang dapat memberikan penjelasan yang cukup representatif (Lin,2001:1920). Pertama, dalam pasar yang tidak sempurna ikatan social dalam posisi okasi/hierarki yang strategis dapat menyediakan individu dengan informasi yang berguna tentang kesempatan dan pilihan-pilihan. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki posisi yang strategis, dipastikan tidak memiliki keuntungan tersebut. Dengan adanya informasi di tangan itu artinya individu tersebut bias mengurangi biaya transaksi untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kedua, ikatan social bias mengpengaruhi perilaku, misalnya supervisor organisasi, yang memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan (seperti proses peenggajian ataupun promosi). Ketiga, ikatan social mungkin diberikan oleh organisasi atau pelakunya sebagai sertifikasi kepercayaan social individu, yakni sesuatua yang merefleksikan aksesibilitas individu terhadap sumber daya lewat jaringan dan relasi yang dipunyai. Keempat, hubungan social diekspektasikan dapat memperkuat kembali identitas dan pengakuan (recognition). Penguatan kembali (reinforcement) tersebut sangat esensial bagi pemeliharaan kesehatan mental dan pembagian sumber daya. Jadi, keempat elemen tersebut, informasi; pengaruh; kepercayaan social; dan penguatan kembali, mungkin bias menjelaskan mengapa modal social bekerja dalam tindakan-tindakan instrumental dan ekspresif yang tidak dapat dihitung dalam bentuk modal personal, seperti modal ekonomi atau manusia.
            Seperti yang dikatakan oleh Coleman, terdapat tiga penampakan yang memiliki aspek struktur dan kognisi maka didapatkan sebuah operasionalisasi modal social sebagai berikut. Pertama, menurut sumber dan pengejawantahannya, secara struktur modal social terdiri dari peran dan aturan, jaringan dan hubungan interpersonal dengan pihak lain, serta prosedur dan kejadian. Sedangkan aspek kognisinya terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, perilaku, dan keyakinan. Kedua, menurut cakupannya (doamins), strutur modal social terbentuk dari organisasi social dan aspek kognisinya mewujud dalam budaa sipil (civic culture). Budaya bias dimaknai sebagai kemampuan warga Negara/ masyarakat untuk mengekspresikan dan mengorganisasikan kepentingannya melalui saluran-saluran yang tersedia. Ketiga, menurut elemen-elemen umum (common elements) struktur modal social terbangun berdasarkan ekspektasi yang mengarah kepada perilaku kerja sama yang saling menguntungkan. Sedangkan aspek kognisi dari elemen umum ini tidak bias diidentifikasikan secara jelas karena sangat tergantung dari kesepakatan anggota-anggota yang terlibat dalam hubungan kerja sama tersebut (secara detail bias dilihat pada Tabel 8.1).
Tabel 8.1 Dimensi Struktur Dan Kognisi Modal Sosial

Struktur
Kognisi
Sumber dan
pengjawantahan
Peran dan aturan
Jaringan dan hubungan
  interpersonal dengan
  pihak lain
Prosedur dan kejadian
Norma-norma
Nilai-nilai
Perilaku
Keyakinan
Cakupan (domains)
Organisasi sosial
Budaya social (civic culture)
Factor dinamis
Ketekaitan horizontal
Keterkaitan vertikal
Kepercayaan, solidaritas, kerja sama, kedermawanan
Elemen dasar
Ekspektasi yang mengarahkan kepada perilaku kerja sama yang saling menguntungkan
_

Selanjutnya, konsep modal social tidaklah dipahami secara tunggal, melainkan mempunyai dimensi yang multispektrum. Sampai saat ini, setidaknya terdapat empat cara pandang terhadap modal social (Woolcock dan Narayan), (2000:229-238). Pertama, pandangan komunitarian, yang melihat jumlah dan keeretan (density) kelompok dalam sebuah komunitas, menganggap modal social sebagai sesuatu yang secara inheren baik, dan memandang lanjut, pandangan komunitarian secara implisit mengasumsikan bahwa komunitas memetik keuntungan. Terlepas dari beberapa fakta-fakta yang bias berseberangan dari kacamata hal ini, pendekatan komunitarian sudah bisa memotret sebagian dari struktur social yang hidup di masyarakat.
Kedua, pandangan jaringan/jejaring (network view). Pandangan ini menggabungkan dua level, sisi atas (upside) dan sisi bawah (downside), yang menekankan pentingnya asosiasi vertical dan horizontal diantara orang-orang dan relasinya dengan entitas organisasi lain, semacam kelompok komunitas dan perusahaan (firms). Secara jelas, konsep ini sebetulnya mengoperasikan dua sifat penting dari modal social, yakni sebagai ikatan (bonding) dan jembatan. Dalam pandangan ini, modal social sebagai ‘ikatan’ karena kekuatan hubungan didalam sebuah komunitas (intercommunity) bias memberikan kepada setiap keluarga dan komunitas sebuah identitas dan tujuan bersama (common purpose). Selanjutnya modal social sebagai ‘jembatan’ bermakna tanpa adanya kelemahan ikatan antarkomunitas (intercommunity), seperti keragaman social yang dipicu oleh perbedaan agama, kelas, entitas, gender, dan status social ekonomi. Dengan begitu, pandang jaringan ini bias dikarakteristikan dalam dua proposisi kunci: (i) modal social adalah pedang berisi dua (double-edged sword). Artinya, modal social dapat menyediakan layanan-layanan yang bermanfaat bagi anggota komunitas, tetapi juga ongkos yang mungkin keluar akibat ikatan yang sama melakukan klaim non-ekonomi terhadap anggota-anggota komunitas dalam hal kewajiban dan komitmen yang menimbulkan konsekuensi negative ekonomi. Misalnya, anggota komunitas yang kuat bias saja mengisolasi anggota komunitas lainnya untuk mendapatkan informasi mengenai kesempatan kerja, dll. Dan (ii) sumber-sumber modal social perlu dipisahkan dari konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari kemungkinan negative. Artinya, pencapaian modal sosial yang diinginkan bias jadi mengabaikan kemungkinan bahwa hasil tersebut diperoleh dengan jalan membebani kelompok lainnya sehingga pencapaian tersebut tidak optimal, atau hasil diinginkan saat ini sebenarnya akan menimbulkan biaya di kemudian hari.
Dalam level yang lebih makro, jembatan  modal social dapat dikaitkan dengan tata kelola yang menghasilkan pencapaian ekonomi. Narayan (1999) mengintegrasikan ide inti dari jembatan modal social yang menyatakan bahwa intervensi yang berbeda dibutuhkan bagi kombinasi tata kelola yang berlainan dan jembatan modal social dalam sebuah kelompok, komunitas, atau masyarakat (lihat bagan 8.1). Dalam masyarakat (atau komunitas) dengan tata kelola yang baik dan level jembatan modal social yang tinggi, diestimasikan terdapat komplementaritas antara Negara dan masyarakat, serta antara kemakmuran ekonomi dan ketertiban social.
           
Ketiga, pandangan kelembagaan (institution view). Pandangan ini berargumentasi bahwa vitalitas jaringan komunitas dan masyarakat sipil merupakan produk dari system politik, hokum, dan lingkungaan kelembagaan (institutional environment). Dengan kata lain, perspektif kelembagaan menganggap kapasitas kelompok-kelompok social untuk melakukan aksi/tindakan menurut kepentingan kolektifnya tergantung kepada mutu kelembagaan formal di mana kelompok tersebut tinggal/berdiam.
            Keempat, pandangan sinergi (synergy view). Pandangan ini kurang lebih berupaya mengintegrasikan konsep jejaring (network) dan kelembagaan (institutional). Evans (1992,1995,1996), sebagai pioneer pandangan ini, menyimpulkan bahwa sinergi antara pemerintah dan masyarakat/ warga Negara didasarkan atas prinsip komplementer dan kelekatan. (ringkasan empat perspektif tersebut dapat dilihat dalam Tabel 8.2).
Tabel 8.2: Empat Perspektif Modal Sosial
Perspektif
Pelaku
Preskrpsi Kebijakan
Perspektif
Komunitarian
Asosiasi lokal
Kelompok komunitas
Organisasi sukarela
Kecil itu indah
Mengidentifikasi aset sosial
kaum miskin
Perspektif Jaringan
Ikatan dan jembatan ikatan komunitas
Wirausahawan Kelompok
bisnis Perantara informasi
Desentralisasi Menciptakan
zona usaha Menjebatani
pemisahan sosial
Perspektif Kelembagaan
Kelembagaan politik dan
hukum
Sektor privat dan publik
Desain kebebasan sipil dan politik
Perspektif Sinergi
Jaring komunitas dan
relasi Negara-masyarakat
Kelompok komunitas,
masyarakat sipil,
perusahaan, dan negara
Produksi bersama, partisipasi
Komplementasitas, keterikatan
Penguatan kapasitas dan
skala organisasi lokal

Modal sosial: Implikasi Negatif
Dalam identifikasi yang mendalam, setidaknya kontroversi menyangkut konsep modal social ini bias dibagi dalam empat isu (Lin, 2001:26-28). Pertama, kontroversi yang menghadapkan apakah modal social itu asset kolektif atau individu. Pada level kelompok, modal social mempresentasikan beberapa agregrasi sumber daya yang bernilai (ekonomi, politik, budaya, atau social dalam koneksi social) bagi interaksi anggota dalam sebuah jaringan. Kesulitan muncul apabla modal social didiskusikan sebagai barang kolektif atau public karena membaur dengan norma, kepercayaan, dan barang public lainnya. Kedua, kontroversi yang melihat modal social sebagai klosur atau jaringan terbuka dalam sebuah jaringan terbuka dalam sebuah jaringan atau relasi social. Bourdie, melihat modal social sebagai investasi dari anggota-anggota modal social yang berasal sebagai investasi dari anggota-anggota modal social yang berasal dari kelas dominan (sebagai kelompok atau jaringan) yang bertujuan menjaga dan meproduksi solidaritas kelompok dan melestarikan posisi kelompok dominan tersebut.
Tabel 8.3: Kontroversi Modal Sosial
Isu
Isi
Masalah
Aset kolektif atau individu
(Coleman, Putnam)
Modal social sebagai asset
kolektif
Membaur (confounding) dengan norma, kepercayaan
Closure atau jaringan terbuka
(Bourdieu, Coleman,
Putnam)
Kelompok harus tertutup
dan rekat (dense)

Visi kelas masyarakat dan
ketiadaan mobilitas
Fungsional (Coleman)
Modal social diindikasikan oleh efeknya terhadap
tindakan tertentu (particular)
Tautology (sebab ditemukan
oleh efeknya)
Pengukuran (Coleman)
Tidak bias dikuantifikasi
Heuristik, tidak dapat salah
(not falsifiable)

            Ketiga, kontroversi yang dipicu oleh pandangan Coleman, yang menyatakan bahwa modal social merupakan ‘sumber daya struktur social’ yang menghasilkan keuntungan (return) bagi individu dalam sebuh tindakan yang spesifik. Coleman memberikan tekanan bahwa ‘modal social bukanlah entitas tunggal’ melainkan bermacam-macam entitas yang berbeda dan memiliki dua karakteristik penting: modal social berisi aspek dari struktur social dan modal social dapat ditangkap hanya melalui efeknya; atau modal social merupakan investasi yang tergantung pada pengembalian terhadap individu tertentu dalam sebuah spesifik.
            Keempat, kontroversi ini mengenai pengukuran (measurement). Coleman mempertanyakan, apakah modal social bias disepadankan dengan modal ekonomi, fisik, dan manusia sehingga bias dikuantifikasi dalam bidang ilmu social? Sampai saat ini modal social lebih banyak didekati dengan analisis kualitatif dan untuk analisis kuantitatifnya biasanya dilakukan dengan mengambil indicator-indikator kualitatif. Kecenderungannya, bagi kebanyakan ahli, mereka menghendaki modal social bias diukur melalui pendekatan kuantitatif (secara lebih detail, empat kontroversi modal social bias dilihat di Tabel 8.3).
            Beberapa studi menunjukkan empat konsekuensi negative dari modal social (Portes, 1998:15): pengucilan dari pihak luar (exclusion of outsiders), dampak klaim terhadap anggota kelompok (excess claims on group members), rintangan terhadap kebebasan individu (restriction on individual freedoms), dan penyempitan ruang lingkup dari norma (downward levelling norms).
Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
            Kelahiran modal social dipicu dari ranah bidang ilmu sosiologi, begitu sampai dalam kupasan bidang ekonomi dianggap sebagai bagian dari bentuk modal yang diharapkan memiliki donasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika dibagi dalam level studi, riset-riset yang mencoba menghubungkan antara modal social dan pembangunan ekonomi biasanya mengambil dua karekteristik berikut: (i) penelitian  hulu yang mencoba mencari landasan teoritis yang merelasikan modal social dengan pembangunan ekonomi; dan (ii) penelitian hilir yang berusaha melacak implikasi modal social terhadap pembangunan ekonomi. Kedua level studi tersebut masing-masing sudah menyumbangkan khasanak pemikiran yang matang, sehingga saat ini telah tersedia beberapa argumentasi teoritis maupun empiris untuk menjelaskan hubungan antara modal social dan pembangunan ekonomi.
            Dalam perspektif rasionalitas transaksional, yang secara tipikal digunakan untuk melakukan analisis pertukaran ekonomi, tujuan utamanya untuk memperoleh modal ekonomi (sumber daya melalui transaksi) dan kepentingan dalam aspek transasional pertukaran yang dimediasi oleh harga dan uang. Dengan basis ini, aturan-aturan pertukaran berperan dalam dua hal. Pertama,jika hubungan dengan agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka keputusannya adalah melanjutkan hubungan transaksi berikutnya. Kedua, bila hubungan tersebut gagal menghasilkan laba relatif, maka dua pilihan yang dapat dambil: (1) menemukan hubungan alternative yang bias memproduksi keuntungan; atau (2) merawat hubungan tersebut, tetapi dengan berupaya mengurangi biaya transaksional. Dengan begitu, analisis kritis dalam pertukaran ekonomi memfokuskan kepada transaksi simetris dalam episodis atau transaksi yang berulang ( lihat Tabel 8.4).

Tabel 8.4: Rasionalitas Pertukaran Ekonomi dan Sosial
Elemen
Pertukaran Ekonomi
Pertukaran Sosial
Fokus pertukaran
Transaksi
Hubungan (relationship)
Kegunaan
(optimisasi)
Laba relative terhadap
biaya dalam transaksi
(transaction at a cost)
Laba relative terhadap biaya dalam
hubungan (relationship at a cost)
Pilihan rasional
Relasi alternatif
Biaya transaksional dan reduksi
Transaksi alternatif
Biaya hubungan/relasional dan reduksi
Bentuk pembayaran
(episodic payoff)
Uang (kredit ekonomi,
utang ekonomi)
Pengakuan / recognition (kredit
sosial, utang sosial)
Penghargaan umum
(generalized payoff)
Kesejahteraan (status
 ekonomi)
Reputasi (status sosial)
Penjelasan logika
(explanatory logic)
Hukum alam (law of nature)
Daya tahan pelaku
Optimisasi laba
Hukum manusia (law of humans)
Daya tahan kelompok
Minimalisasi kurgian

            Motivasi dari rasionalitas relasional adalah untuk memeroleh reputasi lewat pengakuan dalam jaringan atau kelompok, sedangkan kegunaan pertukaran adalah untuk mengoptimasi keuntungan relasional (menjaga hubungan sosial) serta juga analisis biaya dan keuntungan. Dengan basis ini, juga terdapat dua aturan partisipasi pertukaran. Pertama, jika transaksi spesifik mempromosikan sebuah hubungan yang kuat dan perluasan pengakuan, maka transaksi akan dilanjutkan. Kedua, bila transaksi gagal mempromosikan hubungan yang kuat, maka dua pilihan bisa dipertimbangkan: (1) menemukan alternatif transaksi yang akan memberikan keuntungan (misalnya meningkatkan sensitivitas dalam transaksi untuk mengiming-imingi dan memperkuat pengakuan); atau (2) merawat transaksi tersebut dengan jalan mengurangi ongkos relasional. Seterusnya hal seperti rasionalitas transaksional, keputusan tergantung dari proses untuk menemukan transaksi alternative dan biaya relasional relative (Lin, 2001:155-156).
            Hubungan antara modal social dan pembangunan ekonomi tersebut juga bias dilacak dari sisi lain. Kegiatan ekonomi selalu berupa kerja sama antarpelakunya, apapun motif yang ada dibaliknya (profit, harga diri, status, preferensi, dll). Sedangkan kerja sama itu membutuhkan kepercayaan , yang dalam ekonomi modern dapat digantikan dengan mekanisme formal untuk mencegah kecurangan/penipuan, seperti system kontrak. Tapi, formalitas itu sendiri tidak akan pernah menggantikan kepercayaan karena system kontrak hanyalah instrument pendukung (bukan utama). Sampai disini, pandang paling agungdari modal social menyatakan bahwa kerja sama tergantung dari kepercayaan. Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi akan sanggup melakukan kerja sama yang dapat digalang hanya sampai pada level terbatas, misalnya perusahaan yang berbasis keluarga (family firm-based). Jadi, dalam hal ini harus dipahami modal social sebagai sumber daya bermakna bahwa komunitas bukanlah sebuah produk atau hasil pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan ‘prakondisi’ bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi, (Putnam, 1995; dalam Champlin, 1999:1304).

Studi Kasus Modal Sosial
Artikel ini bertujuan untuk membahas peran modal sosial petani cengkeh dalam mendukung usaha pertanian tanaman cengkeh. Lokasi penelitiannya berada di Desa Ketanda, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas. Pertanian cengkeh adalah salah satu pertanian yang menjadi komoditi unggulan bagi petani di Indonesia, begitu pula bagi petani di Desa Ketanda, hingga akhirnya petani harus merugi karena cengkeh tidak laku di pasaran.saat ini hanya beberapa petani cengkeh yang masih bertahan untuk tetap bertani cengkeh, hal ini tidak terlepas dari modal sosial yang dimiliki oleh para petani cengkeh. Hasil penelitian menunjukan bahwa petani memiliki alasan kuat untuk tetap mempertahankan pertanian cengkeh yang dimiliki. Alasan petani dalam mempertahankan pertanian cengkehnya diperoleh dari modal sosial yang dimiliki oleh para petani cengkeh. Modal sosial yang dimaksud adalah berupa jaringan, trust, serta nilai dan norma. Petani memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki melalui beberapa cara, yaitu: memanfaatka jaringan untuk meningkatkan kemampuan pertanian cengkeh petani, untuk mendistribusikan hasil panen, memanfaatkan nilai dan norma sebagai pengendalian di dalam usaha pertanian cengkeh, serta menjadikan trust sebagai dasar dalam mengembangkan pertanian cengkeh. Modal sosial yang dimiliki petani saat ini berperan sebagai sarana informasi untuk mengembangkan pertanian cengkeh serta sebagai sarana untuk mendapatkan akses untuk melakukan pengembangan usaha pertanian cengkeh di Desa Ketanda.
Sumber: (http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/solidarity/article/view/6042 , diakses pada 18 September 2016 pukul 16.47 WIB)
            Dari artikel diatas, dapat disimpulkan bahwa modal sosial memiliki peranan penting. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa modal sosial yang dimiliki petani dapat membatu mereka tetap bertahan ditengah menurun drastisnya permintaan cengkeh di pasaran. Dari situ akhirnyanya menyebabkan banyak petani cengkeh yang mulai meninggalkan kegiatan bertaninya.
Namun tidak semua petani cengkeh yang berhenti untuk bertani, sebagian tetap mempertahankan kebun cengkehnya. Mereka yang masih bertahan memiliki modal sosial berupa jaringan, trust, serta nilai dan norma. Modal tersebut mereka gunakan untuk terus bertahan ditengah krisis yang melanda.
Modal sosial yang pertama adalah jaringan. Jaringan sangat membantu petani dalam beberapa hal seperti pusat informasi dan pemasaran. Ketika petani memiliki jaringan yang cukup luas, maka akan mempermudah dalam menjangkau dan memasarkan hasil taninya ke daerah-daerah lain. Jadi, pemasaran hasil taninya tidak hanya berkutat pada satu wilayah tertentu. Akan lebih bagus lagi ketika cengkeh yang dijual petani dapat di ekspor keluar negeri.
Kemudian yang kedua adalah trust. Ketik petani mendapat kepercayaan dari konsumen maka akan mempermudah dalam hal pemasaran. Dengan jaringan yang luas dan ditambah dengan kepercayaan dari konsumen maka akan menciptakan pasar yang cukup menguntungkan. Selain itu nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat membantu petan dalam menjalankan serta mengembangkan usaha yang berkelanjutan. Jadi, pada intinya, modal sosial merupakan investasi jangka panjang yang dapat membantu dalam pembentukan jaringan yang kuat


Source : Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori dan Kebijakan. Jakarta. Erlangga.


#TUGAS 8



Komentar

Postingan Populer