Teori Kontrak Ekonomi Kelembagaan
Pertanian kontrak perkebunan kelapa sawit
Kemajuan sistem kontrak perkebunan kelapa sawit tersebut merupakan buah dari proses evolusi pertumbuhan industri kelapa sawit sejak Orde Baru dari industri yang berbasis pada perusahaan-perusahaan milik negara menuju industri yang sepenuhnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta. Seperti ditnjukan oleh Larson (1996), sampai dengan tahun 1992, produksi kelapa sawit didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara. Tetapi, seperti kita lihat hari ini, pemain utama dalam industri ini adalah perusahaan-perusahaan swasta. Angka statistik BPS menunjukan bahwa pada tahun 1980, ketika luas perkebunan rakyat seluas 6.370 hektar dan perkebunan swasta 83. 963 hektar, luas perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar negara mencapai 199.194 hektar. Tetapi, lebih dari 20 tahun kemudian, yakni pada tahun 2006, ketika luas perkebunan rakyat mencapai 2.120.338 hektar dan perkebunan besar swasta 3.141.802 hektar, justru luas perkebunan milik negara hanya 696.699 hektar (dikutip oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, N.D. ). Itu setelah kebijakan berwatak neoliberal yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui konsep ‘kebun inti dan dan plasma’ (nucleus estate and smallholder), subsidi suku bunga yang rendah dari bank-bank pemerintah kepada perusahaan-perusahaan swasta, pengurangan pajak ekspor secara progresif terhadap CPO dan produk lainnya, alokasi lahan yang luas untuk perusahaan perkebunan, dan membuka pintu selebar-lebarnya investasi asing di sektor ini (Casson, 2002: 244-6; Larson, 1996; Colchester, et.al,. N.D.).
Di Sulawesi Tengah perusahaan-perusahaan perkebunan sawit membangun hubungan inti plasma dengan dua model. Pertama, kebun sawit, biasanya seluas antara 1 atau 2 hektar, diserahkan hak kepemilikan dan pengelolaan kepada petani peserta plasma setelah masa produksi dimulai. Para petani dengan demikian memiliki hak atas tanah dan kebun sawit diatasnya berdasarkan sertifikat hak milik (SHM), di samping mengelola kebun sawit milik mereka secara otonom, mulai dari perawatan, pemupukan hingga panen. Tetapi, para petani harus menjual hasil produksi sawit mereka kepada perusahaan inti, meraih pendapatan bulanan setelah dipotong cicilan kredit minimal 20 persen hingga lunas, sesuai skema kredit lunak jangka panjang (13 tahun) untuk golongan ekonomi lemah. Praktik ini yang terjadi di PT. TGK Morowali, Sulteng.
Kedua, kebun sawit seluas 1 atau 2 hektar diserahkan hak kepemilikkan kepada petani, namum pengelolaannya tetap dipegang secara terpusat oleh perusahaan. Para petani memperoleh pendapatan bulanan dari hasil penjualan buah sawit setelah dipotong kredit investasi dan ongkos produksi. Jika bekerja pada perusahaan, maka para petani itu akan dihargai sebagai buruh dengan upah yang umum berlaku di perusahaan. Praktik seperti ini berlangsung di PT.HIP Buol, Sulteng.
Ada Sejumlah masalah yang muncul berkenaan dengan petani plasma tersebut. Pertama, terjadinya konsentrasi kepemilikan kebun plasma di tangan sebagian para petani plasma sendiri, dimana mereka menjadi tuan tanah baru dengan memiliki kebun plasma hingga diatas 10 hektar, yang memungkinkan mereka mengakumulasi lahan persawahan yang luas, dan bahkan kebun sawit di wilayah perkebunan sawit lain yang juga menerapkan pola plasma. Munculnya kelas tuan tanah baru ini juga ditandai dengan kedatangan penduduk, terutama pedagang dengan membeli kebun-kebun plasma milik para petani plasma. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disebut White (2002: 299) bahwa ‘struktur hubungan produksi yang sebenarnya dikebanyakan bentuk pertanian kontrak lebih kompleks… penelitian harus juga waspada terhadap perangkat hubungan yang lain di bawah tingkat hubungan inti-rakyat misalnya: hubungan antara sesama petani kontrak yang berbeda-beda dalam hal skala usaha dan kekuasaan lokal pada masyarakat yang berdiferensiasi…’ Kedua, muncul keresahan dikalangan petani terutama berkenaan dengan ketidak jelasan perusahaan untuk peremajaan kelapa sawit, di mana isu mengenai menurunnya produksi kelapa sawit yang telah mencapai usaha lebih tua. Seperti diketahui usia produktif kelapa sawit adalah antara 25 sampai 30 tahun. Fakta ini menunjukan tingginya kontrol perusahaan kepada petani, melengkapi penguasaan mereka dalam pemasaran, dimana para petani tidak punya pilihan bebas untuk menjual hasil panen dan dalam penentuan harga. Ketiga, menyebarnya ketidak puasan antara sesama petani di pedesaan, karena sebagian terpilih sebagai petani plasma dan lainnya tidak atau memperoleh lahan kebun yang lebih sedikit. Dalam kasus PT. TGK di Morowali, ketimpangan kepemilikan lahan kebun sawit menimbulkan kecemburuan beralaskan suku, dimana kategori penduduk pendatang (Lombok, Flores, Jawa, Bali, dan Bugis) dan penduduk asli menjadi isu yang tumbuh di permukaan.
Industri perkebunan kelapa sawit menjadi contoh paling baru bagaimana transformasi kapitalis sedang berlangsung dengan jelas. Sifat-sifat industrinya yang padat modal, berskala besar, dan melayani kebutuhan pasar secara global telah membuka ruang luas bagi investasi swasta. Sangat jelas, industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah menggambarkan sedang berlangsungnya proses kerja hubungan produksi kapitalis yang semakin mendalam. Proses ini bekerja begitu kompleks ditandai dengan: pertama, pemisahan petani dari alat produksi. Dimulai dari hilangnya akses untuk mengolah lahan-lahan pertanian milik mereka di dalam sistem pertanian subsisten atau sistem dimana tanah dan tenaga kerja masih rendah tingkat komoditasnya. Kedua, beralih menjual tenaga kerja dalam industri perkebunan sawit yang moderen. Proses ini berjalan seirirng berimigrasinya buruh-buruh tani sewaan dari kegiatan pertanian pedesaan berskala kecil ke industri perkebunan kelapa sawit yang jauh lebih kapitalistik. Dan ketiga, terjadinya konsentrasi kepemilikan alat-alat produksi ditangan kelas kapitalis.
#TUGAS 6
Komentar
Posting Komentar