Teori Ekonomi Politik

John Stuart Mill lewat buku monumentalnya: Principales of Political Economy. Didalam buku tersebut dijelaskan bermacam-macam isu yang menjadi dasar penting perkembangan ilmu ekonomi, seperti teori nilai dan distribusi, pertukaran, produksi, tenaga kerja, peran negara, pajak, utang negara, laizzas-faire, dan sosialisme. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan memengaruhi pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap struktur kekuasaan di dalam masyarakat given. Bab ini akan menjelaskan tentang makna ekonomi politik itu sendiri, ditambah dengan beberapa teori ekonomi politik yang populer digunakan akhir-akhir ini.

Sejarah dan Pemaknaan Ekonomi Politik

Menurut Clark (1998:21-23), munculnya teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad ke-14 dan ke-16, yang biasa disebut masa 'transformasi besar' di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem perdagangan yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feodal di abad pertengahan. Selanjutnya, pada abad ke-18 muncul abad pencerahan yang marak di Perancis dengan para pelopornya, antara lain Voltaire, Diderot, D'Alembert, dan Condilac. Para pemimpin dari aliran ini percaya bahwa kekuatan akal akan dapat menyingkirkan manusia dari segala bentuk kesalahan. Ide abad pencerahan inilah, yang bertumpu kepada ilmu pengetahuan masyarakat, yang sebetulnya menjadi dasar teori ekonomi politik. Istilah ekonomi politik pertama kali diperkenalkan oleh Antoyne de Montchetien (1575-1621), dalam bukunya yang bertajuk Treatise on Political Economy.

Perdebatan antara para ahli ekonomi politik itulah yang akhirnya memunculkan banyak sekali aliran dalam tradisi pemikiran ekonomi politik. Secara garis besar mahzab itu dapat dipecah dalam tiga kategori, yakni: (i) aliran ekonomi politik konservatif yang dimotori oleh Edmund Burke; (ii) aliran ekonomi politik klasik yang dipelopori oleh Adam Smith, Thomas Maltus, David Ricardo, Nassau Senior, dan Jean Baptiste Say; dan (iii) aliran ekonomi politik radikal yang dipropagandakan oleh William Godwin, Thomas Paine, Marquis de Condorcet, dan tentu saja Karl Marx. 

Beberapa ilmuwan sosial cenderung melihat politik dan ekonomi sebagai entitas yang terpisah, di mana para pemimpin politik memiliki dua pilihan yang jelas: hubungan ekonomi dipahami sangat sederhana atau bebas menentukan aspek apapun yang diperkirakan bisa memengaruhi ekonomi. Sedangkan para ekonom yang lain melihat sistem politik lebih banyak ditentukan oleh konfigurasi hubungan ekonomi. 

Sementara dalam model kebijakan ekonomi sendiri, setidaknya dikenal dua perspektif yag digunakan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan.  pendekatan ini berasumsi bahwa pemerintah bersifat otonom dan eksogen terhadap sistem ekonomi sehingga setiap kebijakan yang diciptakan selalu berorientasi kepada kepentingan publik. Pertama, pendekatan yang berbasis pada maksimalisasi kesejahteraan konvensional. Kedua, pendekatan yang bersandarkan pada asumsi ekonomi politik dan sering disebut dengan 'ekonomi politik baru'.

Teori Pilihan Publik

Teori pilihan publik melihat aktor-aktor individu sebagai pusat kajian, entah mereka itu sebagai anggota partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, atau birokrasi; baik yang berkuasa karena dipilih maupun ditunjuk. Teori PC ini mendeskripsikan bahwa 'secara tipikal ahli ekonomi politik dalam wujud demokrasi, yang memberi ruang untuk saling melakukan pertukaran di antara masyarakat, partai politik, pemerintah, dan birokrat.

Asumsi-asumsi umum yang dipakai dalam teori pilihan publik setidaknya bisa dijelaskan dalam 4 poin berikut: (1) kecukupan kepentingan tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik; (2) kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi (3) kecukupan kepentingan material individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik; dan (4) di mana asumsi kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik.

Public Choice teori melihat posisi sebagai pelaku yang cenderung memaksimalkan kepuasan pribadi yang dimotivasi oleh banyak faktor, seperti gaji, reputasi publik, kekuasaan, dan ruang untuk mengontrol birokrasi.

Teori Rent-seeking

Teori rent-seeking sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Krueger (1974), Kruger membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, di mana kuota sendiri bisa dimaknai sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan ekonomi, atau menelikung kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan bagi para pencari rente. Secara teoritis, kegiatan mencari rente harus dimaknai secara netral, karena individu bisa memeroleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang legal, seperti menyewakan tanah, modal (mesin), dan lain-lain. Prasad mendefinisikan rent-seeking sebagai proses di mana individu memeroleh pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas, atau pemerintah menentukan alokasi kesejahteraan, maka kian besar kesempatan bagi munculnya para pencari rente.

Secara jelas, Krueger menerangkan bahwa aktivitas mencari rente, seperti lobi untuk mendapatkan lisensi atau surat izin, akan mendistorsi alokasi sumber daya sehingga membuat ekonomi menjadi tidak efisien. Demikian halnya dengan contoh sehari-hari yang biasa dijumpai di negara berkembang, di mana pejabat pemerintah menjual posisinya untuk merekrut tenaga kerja.

Dengan begitu,beberapa hal bisa disimpulkan dari penjelasan mengenai perilaku mencari rente di atas. Pertama, masyarakat akan mengalokasikan sumber daya untuk menangkap peluang hak milik yang ditawarkan oleh pemerintah. Kedua, setiap kelompok atau individu pasti akan berupaya mempertahankan posisi mereka yang menguntungkan. Ketiga, di dalam pemerintah sendiri terdapat kepentingan-kepentingan yang berbeda.

Teori Redistributive Combines dan Keadilan

Menurut Stigler, ada dua alternatif pandangan tentang bagaimana sebuah peraturan diberlakukan. Pertama, peraturan dilembagakan terutama untuk memberlakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik atau sebagian sub-kelas dari publik tersebut. Kedua, suatu tipe analisis di mana proses politik dianggap merupakan suatu penjelasan yang rasional. Menurut Rachbini (1996:96), dalam pola redistributive combines ini sumber-sumber ekonomi, aset produktif, dan modal didstribusikan secara terbatas hanya dilingkungan segelintir orang. Teori redistributive combines mengandaikan adanya otoritas penuh dari negara/pemerintah untuk mengalokasikan kebijakan kepada kelompok-kelompok (ekonomi) yang berkepentingan terhadap kebijakan tersebut.

Dengan pemaham tersebut, Rawls akhirnya mengonseptulisasikan teori keadilan yang bertolak dari dua prinsip: (i) setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang sejajar, yang sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan yang dimilikioleh orang lain; (ii) ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani sehingga keduanya: (a) diekspekasikan secara logis menguntungkan bagi setiap orang; dan (b) dicantumkan posisi dan jabatan yang terbukan bagi seluruh pihak (Rawls,1999:53).


Komentar

Postingan Populer