Ekonomi Kelembagaan dan Strategi Pembangunan EKonomi

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Strategi pembangunan ekonomi yang populer dijalani oleh semua negara di dunia tidak lain adalah mencoba mengomparasikan antara strategi pembangunan ekonomi berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif. Strategi ini secara lebih khusus disiapkan oleh negara-negara yang hendak menjalani proses industrialisasi. Industrialisasi sendiri dapat dipahami sebagai pergeseran pertumbuhan sektor produksi dari semula mengandalkan sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan kemudian ke sektor jasa-jasa. Oleh karen itu, proses industrilisasi tidak pernah bisa lepas dari formulasi keunggulan komparatif.

Teori tentang keunggulan komparatif berkembang seiring dengan terjadinya perdagangan internasional, yakni melalui tokoh-tokohnya seperti John Stuart Mill dan David Ricardo. Dalam konsep "tradisional", teori keunggulan komparatif ini didefinisikan sebagai bentuk keunggulan nilai produk suatu negara yang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan untuk memproduksi barang tersebut. Sehingga cara pandang ini lebih menekankan unsur "produktivitas" sebagai faktor pentingnya. Apabia suatu negara produktivitas tenaga kerjanya tinggi, dan dengan begitu biaya produksinya murah, maka negara tersebut bisa dikatakan memiliki dua sumber keunggulan komparatif. Nicolini menyebut dua sumber keunggulan komparatif: modal dan tenaga kerja terampil. Tetapi, dalam perkembangannya, pengertian itu relatif ketinggalan jaman akibat tidak bisa mengakomodasi dinamika perubahan yang terjadi. Kondisi aktual memperlihatkan, bahwa letak keunggulan (komparatif) bukan hanya dikontribusikan oleh produktivitas tenaga kerja, melainkan juga faktor-faktor lain, seperti tingkat upah, sumber daya alam, ketersediaan infrastruktur ekonomi dan nilai tukar mata uang (kurs). Singkatnya, suatu negara memiliki keunggulan komparatif jika dalam kegiata-kegiatan ekonominya banyak menggunakan faktor-faktor produktif yang relatif lebih tersedia atau murah terdapat di negara itu daripada negara-negara yang merupakan mitra perdagangannya.

Kemudian konsep tersebut banyak menimbulkan kritik karena dianggap tidak lagi relevan serta terlampau sempit ruang lingkupnya, sehingga kurang memadai untuk mencakup determinan-determinan pokok yang menentukan keberhasilan ekonomi. Oleh karenanya, konsep keunggulan komparatif harus diganti dengan keunggulan kompetitif yang memperhitungkan semua faktor pokok yang mempengaruhi daya saing suatu perusahaan atau industri, sehingga lebih berguna bagi perumusan kebijakan ekonomi. Faktor daya saing itu adalah persaingan sehat antarindustri, adanya diferensiasi produk, dan kemampuan teknologi. Konsep keunggulan kompetitif juga sering dimaknai sebagai proses di mana perusahaan mampu menggunakan sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki dalam menciptakan keunikan dan derajat kesulitan bagi pelaku lain untuk mengikuti/mengimitasi sehingga memberikan nilai tambah/lebih bagi pelanggannya.

Pertama, faktor teknologi oleh sebagian analis dianggap merupakan variabel penting yang membentuk keunggulan kompetitif suatu negara. Kedua, dalam pandangan makro, bukankah setelah suatu negara mempunyai kemampuan teknologi dengan sendirinya ia merupakan keunggulan komparatif (bukan kompetitif).

Pemahaman teoritik tentang keunggulan komparatif, masih terdapat perspektif lain yang juga berupaya untuk mendalami makna keunggulan komparatif tersebut dari sudut yang lain. Pertama, perbedaan cara pandang terhadap sumber-sumber keunggulan komparatif. Kedua, perbedaan cara pelestarian atas sumber-sumber keunggulan. Sebagai akibat dari perbedaan terhadap sumber-sumber keunggulan komparatif, selanjutnya berimplikasi kepada penanganan pelestariannya. Ketiga, perbedaan dalam menciptakan dasar (pondasi) kebijakan. Dalam hal ini, paradigma neoklasik memilih memakai peranti-peranti tingkat tabungan dan instrumen makro lainnya untuk memaksimalkan pencapaian tujuan.

Substitusi Impor dan Promosi Ekspor

Pemahaman terhadap pandangan keunggulan komparatif tersebut, biasanya mempengaruhi pilihan pengambilan kebijakan ekonomi di suatu negara. Secara ekstrem, pilihan kebijakan tersebut dipilah dalam dua kategori, yakni kebijakan industrialisasi yang bertumpu pada orientasi ekspor/promosi ekspor dan kebijakan yang menekankan orientasi ke dalam/substitusi impor. Kedua pilihan ini diterapkan secara luas oleh seluruh negara, khusunya negara berkembang, dengan derajat yang berlainan antara satu dengan lainnya.

Akselerasi perdagangan dunia itu menggambarkan keadaan yang tidak sejajar antara negara maju dengan negara berkembang; yakni dengan ditunjukkannya posisi neraca pembayaran negara berkembang yang selalu defisit terhadap negara maju. Kecenderungan ini tentunya menimbulkan persoalan besar bagi negara berkembang, karena dengan adanya defisit tersebut membuat cadangan devisa yang digunakan membiayai pembangunan ekonomi domestik menjadi tidak tersedia. Jika pembiayaan pembangunan macet, kegiata investasi tidak dapat dipenuhi sehingga mengganggu pencapaian pembangunan secara keseluruhan. 

Paling tidak terdapat dua alasan yang bisa menjelaskan terjadinya kondisi tersebut, yakni: (i) ekspor negara berkembang kebanyakan berbentuk produk primer dengan ciri elastisitas permintaan rendah dan sering mengalami gejolak harga, sebaliknya sebagian besar impor negara berkembang justru berupa produk manufaktur dengan ciri elastisitas permintaan tinggi dan harga yang selalu stabil; dan (ii) negara maju akibat tingkat teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik bisa menghasilkan produksi yang lebih efisien dan kompetitif, sehingga relatif lebih mampu menebus pasar negara berkembang.

Secara lebih spesifik, setidaknya terdapat beebrapa alasan pokok mengapa negara-negara berkembang perlu merepakan kebijakan promosi ekspor:
  1. Pilihan negara berkembang untuk memperkuat posisi eksternalnya, baik untuk memperkuat penerimaan devisa atau meredam gejolak perekonomian internasional
  2. Memacu akselerasi pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri untuk tujuan ekspor dengan pencarian peluang pasar yang luas di berbagai negara
  3. Memperkuat dan memperluas kedudukan ekspor komoditas tradisional yang telah dikembangkan sejak lama dalam bentuk yang telah terproses sebagai barang jadi
  4. Meningkatkan penerimaan produsen (petani, pedagang idustriawan) maupun eksportir dalam kegiatan ekspor
  5. Mempertinggi tingkat kepastian usaha bagi produsen dan eksportir melalui pencarian pasar yang tidak terbatas di luar negeri
  6. Mempertinggi tingkat penyerapan tenaga kerja lewat berbagai kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk ekspor komoditas tradisional maupun komoditas industri manufaktur
  7. Pengembangan industri untuk tujuan ekspor secara tidak langsung merupakan proses untuk mensubstitusi barang-barang manufaktur
Studi Hankla dan Kuthi menyebutkan rezim multipartai di suatu negara secara signifika lebih memilih proteksi perdagangan yang lebih rendah ketimbang rezim otokrasi, monarkhi, dan junta (militer). Secara teoritis, ada dua argumentasi yang bisa menjelaskan, yang sebenernya keluar dari pakem neoklasik. Pertama, negara-negara berkembang yang saat ini mengalami tahap industrialisasi pada awalnya sudah memberikan landasan kebijakan yang mengorientasikan ekonominya untuk melihat keluar. Kedua, negara-negara maju ternyata lebih menonjolkan kebijakannya kepada pemberian insentif untuk membangun investasi infrasturktur spesifik yang sesuai dengan kondisi negaranya memperbaiki SDM melalui pelatihan-pelatihan, yang merupakan faktor keunggulan komparatif dari paradigma strukturalis.

Aspek kelembagaan yang paling penting untuk memperkuat orientasi ekspor itu sekurangnya ada tiga variabel, yaitu korupsi, kualitas birokrasi, dan hak kepemilikan. Riset yang dilakukan Faruq menunjukkan lingkungan kelembagaan yang baik, seperti korupsi yang rendah, birokrasi yang lebih efisien, dan jaminan hak kepemilikan yang bagus akan memperbaiki kualitas ekspor suatu negara.

Sentralisasi dan Desentralisasi

Pada negara yang sedang melakoni proses transisi ekonomi, seperti di Eropa Timur dan Tengah, saat ini sedang giat-giatnya memebenahi sistem keuangan pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Secara teoritis, desentralisasi bisa didefinisikan sebagai proses penyerahan kekuasaan kepada wilayah atau pemerintah lokal dengan menggeser struktur akuntabilitas dari level nasional ke subnasional, cenderung diasosiasikan untuk memperkuat efisiensi dan tanggung jawab pemerintah, pengembangan dan inovasi teknologi, memperbaiki akuntabilitas publik, dan mengendalikan korupsi. 

Dalam literatur ekonomi, percepatan dan intensitas desentralisasi bisa dikerjakan dengan merujuk dua model berikut. Pertama, mengubah secara drastis watak sentralisasi pengololaan negara dan mengimplementaskannya dalam tempo singkat. Kedua, pemerintah menjalankan program terpadu dalam rentang waktu tertentu dengan cakupan yang terukur dan terjadwal. Denga segala resikonya, sebagian negara (termasuk Indonesia) memilih pendekatan yang pertama (radikal) untuk menjalankan misi desentralisasi. Tentu saja, seperti halnya program diet yang dipaksakan berlangsung dengan cepat, potensi untu timbul kegaduhan juga besar. Potensi kegaduhan tersebut bisa dibaca dari dua fenomena berikut: desentralisasi korupsi/kolusi dan duplikasi perda yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Fakta ini sebenarnya menggambarkan satu hal saja: bahwa pemilik modal berhasil membeli kebijakan pemerintah daerah dengan kekuatan uang yang dimiliki. Jika dalama sistem sentralisasi kemampuan pemodal membeli kebijakan relatif terbatas karena "harga pembelian" (kepada pemerintahan pusat) yang relatif besar, maka dalam desentralisasi modal membeli kebijakan (kepada pemerintahan daerah) cenderung lebih kecil karena level pemerintahan yang rendah.

Padahal, kalau mau menggunakan parameter paling sederhana bagi keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintahan lokal. Kinerja dari keberhasilan pelayanan sektor publik tersebut bisa dilihat dar dua indikator, yakni efisiensi dan efekstivitas. Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian sumber daya dalam memproduksi pelayanan, yakni sebuah hubungan antara kombinasi aktual dan optimal dari input yang digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sudah ditetapkan. Sedangkan efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah sistem untuk mencapai tujuan program melalui kebijakan yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, efektivitas berkaitan dengan sejumlah aspek preferensi yang berbeda dari keterkaitan pelayanan dengan tujuan hasil program. Tujuan-tujuan dari program itu antara lain: (i) aksesbilitas/keterjangkauan (aspek-aspek semacam kesanggupan, representasi di antara kelompok-kelompok yang menjadi prioritas, dan keterjangkauan fisik); (ii) kesesuaian (menyocokkan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat/client); dan (iii) kualitas (proses yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan).

Seperti yang telah dijelaskan, biaya transaksi muncul karena adanya tiga faktor, yakni rasionalitas terbatas, oportunisme, dan spesifitas aset. Dalam penelitian yang dilakukan pada pemerintah lokal di Inggris, Stewart dan Stoker menemukan beberapa hal penting menyangkut sumber biaya transaksi dalam pelayanan publik. Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa desentralisasi sebagi suatu strategi ekonomi akan berjalan bila faktor kelembagaannya diurus dengan baik. Pada sebuah negara yang sedang melakukan proses reformasi, desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri. Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai 'rules of the game' pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah.

Statisasi dan Privatisasi

Privatisasi merupakan agenda reformasi ekonomi penting yang dijalankan oleh banyak negara, khusunya di negara-negara berkembang. Sperenger menyatakan privatisasi merupakan agenda paling penting dari kontroversial dari transisi negara-negara sosialis menuju ekonomi pasar. Tentu saja, privatisasi tersebut juga tidak lepas dari dorongan dari lembaga donor, seperti World Bank dan IMF, yang sejak dekade 1980-an mempromosikan kebijakan penyesuaian sturktural bagi negara berkembang, di mana tujuan dari kebijakan tersebut salah satunya adalah merangsang pengalihan kegiatan ekonomi dari semula dikelola negara menjadi milik swasta.


Ada lima tujuan yang bisa dindetifikasikan dari proses privatisasi: (i) sebagai instrumen mengingkatkan pendapatan negara/pemerintah; (ii) menyebar bagian kepemilikan (aset) di sebuah negara; (iii) diharapkan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; (iv) mengurangi masalah yang timbul dalam hal pembayaran di sektor publik; dan (v) mengatasi kinerja yang buruk pada industri (perusahaan) nasional (negara). Begitulah tujuan dari privatisasi membentang mulai dari sebagai alat meningkatkan pendapatan negara sampai pada tujuan perbaikan distribusi pendapatan. Tetapi dari seluruh tujuan tersebut, semangat inti yang hendak diraih dari proses privatisasi adalah meningkatkan kinerja perekonomian nasional secara keseluruhan. Indonesia sendiri tidak lepas dari tren privatisasi tersebut, lebih karena diidorong oleh realitas kinerja BUMN yang buruk.

Secara agak detail, dalam hal mendesain perbaikan kinerja perusahaan, khususnya perlakuan terhadap usaha milik negara, pendektana Asia lebih banyak menempuh kepada upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas. Sedangkan di Eropa Timur lebih menyukai privatisasi dalam pengertian yang sempit untuk mereformasi kinerja BUMNnya. Strategi ini sering juga disebut dengan big-bang approach, mengingat terjadinya perubahan yang cukup radikal.

Kelembagan formal yang dalam praktik terwujud dalam regulasi-regulasi seringkali dibuat tidak didasarkan kepada kepentingan ekonomis, melainkan dalam konteks privatisasi dibebani dengan muatan-muatan politis yang sangat dalam. Dalam mengatasi soal ini, ada beberapa rekomendasi yang bisa disarnkan kepada pemerintah dalam soal privatisasi: (i) dalam jangka pendek pemerintah harus segera menyediakan informasi yang luas dalam proses privatisasi sehingga setiap pelaku ekonomi memiliki kesempatan yang sama; (ii) dalam jangka panjang pemerintah harus menyusun strategi ekonomi nasional untuk memperbaiki sturktur pasar yang masih oligopolis.





Komentar

Postingan Populer